Tari Untuk Upacara Khitanan
Tradisi khitanan di Indonesia mungkin sudah tidak asing di telinga kita semua. Ada yang menganggap bahwa upacara ini diperlukan sebagai simbol menuju kedewasaan dan pengubahan estetika seksualitas, tetapi adapula yang menganggap bahwa khitanan diperlukan untuk menghormati adat leluhur yang sejak dulu mensyaratkan khitan sebagai upacara persembahan.
Di Indonesia sendiri, upacara khitan bisa dilakukan pada anak laki-laki dan perempuan, perbedaannya terletak pada tata cara khitan, tujuan, dan manfaat. Berikut adalah beberapa tari dari yang digunakan saat tradisi khitanan di Indonesia yang menarik dan seru untuk disimak.
1. Provinsi Sumatra Barat
Tari Persembahan berfungsi untuk pesta keluarga seperti perkawinan, khitanan, membuka rumah baru, perayaan rakyat seperti panen, meresmikan masjid atau perayaan hari besar agama
2. Provinsi DI Yogyakarta
Proses khitanan di Jogjakarta sekarang ini sudah cukup jarang dilakukan secara adat, karena banyak yang menganggap bahwa khitanan di rumah sakit atau ahli supit sudah cukup. Namun sebenarnya ada nilai khusus yang akan didapat oleh keluarga pelaksana khitan ketika sang buah hati dikhitankan, yaitu keselamatan dan harapan agar sang buah hati tumbuh menjadi anak yang berbakti pada kedua orangtuanya.
Untuk urutan upacara yang dilakukan adalah majang (simbol pemasangan bleketepe pada rumah keluarga yang memiliki hajat), tarub (pemasangan tempat berteduh yang umumnya dihias janur kuning), siraman dan ngabekten (dimandikan dengan air kembang dan sungkem kepada kedua orangtua), dan gress (pemotongan kulit kepala kemaluan lelaki yang diakhiri dengan pemanjatan doa bersama).
2. Provinsi Nusa Tengggara Timur
Tari Gareng Lameng dipertunjukkan pada upacara khitanan. Tari ini berupa ucapan selamat serta mohon berkat kapada Tuhan agar yang di khitan sehat lahir batin dan sukses dalam hidupnya.
3. Provinsi Jawa Timur
Ada beberapa Kabupaten di Provinsi Jawa Timur khususnya di Kabupaten Banyuwangi dan Blitar sering menampilkan Tari Jaranan Buto. Jaranan buto berarti "kuda lumping raksasa". Keberadaan kesenian Jaranan Buto di daerah Banyuwangi, tidak terlepas dengan cerita rakyat yang melegenda yaitu Menak Jinggo. Menak Jinggo seorang raja kerajaan Blambangan, Raja Menak Jinggo berperawakan besar kekar bagaikan raksasa atau ”buto”.
Sesuai dengan namanya jaranan buto, para pemain kesenian ini berperawakan tinggi besar dan kekar, dengan memakai kostum mirip buto. Gerakan-gerakan tarinya juga mengekspresikan seperti “raksasa”
Tari ini berkembang didaerah Banyuwangi dan Blitar, Tari jaranan buto ini dipertunjukkan pada Upacara iring-iringan pengantin dan khitanan. Tarian ini serupa dengan tari Jaranan Kepang tetapi kuda-kudanya menggambarkan binatang yang berkepala Raksasa.
Tari Jaranan Buto dimainkan oleh 16-20 orang. Peralatan yang mengiringi kesenian jaranan buto adalah kendang, gong, terompet, kethuk dan kuda kepang dengan kepala berbentuk raksasa atau bentuk babi hutan serta topeng berbentuk kepala binatang buas. Kesenian ini biasanya dilakukan mulai pada Pukul 10.00 pagi sampai dengan - 16.00 sore.
Evolusi paling signifikan dari seni ini adalah ekspresi seni itu sendiri yang lebih kuat. "Hampir" tidak ada unsur magic yang terlibat. Saya memang tidak melihat kehadiran unsur-unsur magic, dan begitulah yang saya dengar dari salah satu penonton lokal yang menginformasikan bahwa tidak ada yang kalap-kalapan. Saya tulis "hampir" karena saya tidak menonton hingga tuntas dan terus terang saja belum yakin benar memang tidak akan ada yang kalap (intrance).
Jaranan buto secara harfiah berarti "kuda lumping raksasa". Mungkin ini muncul karena daerah Banyuwangi terkenal dengan legenda Menak Jinggo, seorang raja kerajaan Blambangan yang dilukiskan sebagai seorang "buto" atau raksasa. Sesuai dengan namanya, para pemain kesenian ini berperawakan besar dengan kostum buto. Gerakan-gerakan tarinya juga mengekspresikan ke-raksasa-an. Tegap, berani, dan kuat.